Category: Militer


Sabtu, 27 Januari 2024

Oleh Erik Purnama Putra*

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra*

Keputusan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto mengevaluasi posisi Komandan Pusat Polisi Militer Angkatan Darat (Danpuspomad) dan Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto layak didukung. Agus mengajukan penurunan pangkat di dua jabatan tersebut. Dia beralasan, hal itu sebagai bagaian reformasi birokrasi dan evaluasi efektivitas organisasi dua tahunan.

Alhasil, Agus mengajukan keputusan itu kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB), Abdullah Azwar Anas. Tujuannya agar jabatan Danpuspomad dan Kepala RSPAD diturunkan. Dari saat ini dijabat bintang tiga atau letnan jenderal (letjen) menjadi mayor jenderal (mayjen).

Tentu saja pengajuan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah dalam hal ini Kemenpan-RB. Tidak cukup sampai di situ. Agus juga mengajukan kenaikan pangkat Komandan Korps Marinir (Dankormar) TNI AL dari bintang dua ke bintang tiga.

Jika disetujui maka ke depannya, posisi Dankormar akan diemban letjen dari saat ini mayjen. Khusus untuk Dankormar, sepertinya langkah Mabes TNI itu mengikuti jejak Mabes Polri.

Hal itu terkait keberhasilan Mabes Polri dulu menaikkan status Komandan Korps Brimob (Dankorbrimob) dari inspektur jenderal (irjen) menjadi komisaris jenderal (komjen). Dari sebelumnya bintang dua, kini Dankorbrimob dijabat bintang tiga.

Kembali ke penurunan dua posisi di TNI AD, hal itu jelas sangat menarik. Pasalnya, sebenarnya kenaikan status Danpuspomad dan Kepala RSPAD terjadi pada era Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa. Andika menggunakan kewenangannya mengevaluasi posisi strategis di Mabes TNI AD (Mabesad) merujuk Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 42 Tahun 2019 tentang Organisasi TNI.

Andika dan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) dan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) kala itu, menaikkan beberapa jabatan bintang dua menjadi bintang tiga. Andika kala itu mencari solusi cepat, karena ada ratusan perwira tinggi (pati) dan perwira menengah (pamen) di TNI AD yang nonjob.

Akhirnya, diputuskan puluhan posisi dinaikkan statusnya. Dari sebelumnya pos tertentu diemban bintang satu atau brigadir jenderal (brigjen) menjadi mayjen. Pun jabatan mayjen dinaikkan diduduki letjen.

Khusus bintang tiga di TNI AD, Andika menaikkan jabatan Inspektur Jenderal Angkatan Darat (Irjenad), Koordinator Staf Ahli (Koorsahli) KSAD, Komandan Pusat Teritorial Angkatan Darat (Danpusterad), dan Komandan Pusat Kesenjataan Infanteri (Danpussenif), termasuk Danpuspomad dan Kepala RSPAD dari mayjen ke letjen. Berarti ada enam jabatan baru yang naik status.

Dengan keputusan itu maka bintang tiga di Mabesad menjadi bertambah jumlahnya. Padahal, sebelumnya posisi bintang tiga dikhususkan untuk pos strategis. Di antaranya, Wakil KSAD, Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad), dan Komandan Komando Pendidikan dan Latihan Angkatan Darat (Dankodiklatad).

Namun, pada era Andika, organisasi TNI AD menjadi lebih ‘gemuk’. Jabatan bintang tiga pun menjadi tidak lagi strategis dan prestisius. Pasalnya, ada beberapa posisi yang sebenarnya kurang layak diemban letjen.

Menurut penulis, memang sangat tepat jika posisi Irjenad dinaikkan menjadi bintang tiga. Namun, sisanya terkesan kurang mendesak untuk dinaikkan statusnya. Sehingga sudah tepat jika sekarang Panglima TNI mengevaluasi posisi Danpuspomad dan Kepala RSPAD menjadi bintang dua.

Bayangkan saja, Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI diemban pati bintang dua. Nah, mengapa Danpuspomad sampai harus bintang tiga? Padahal polisi militer dalam organisasi di Mabesad hanya berstatus bantuan administrasi (banmin). Sehingga sangat tidak menarik jika Danpuspomad sampai dijabat bintang tiga.

Pun Kepala Pusat Kesehatan Angkaran Darat (Kapuskesad) yang membawahi Kepala RSPAD hanya dijabat mayjen. Sehingga sangat aneh jika Kapuskesad yang bintang dua merupakan atasan Kepala RSPAD yang bintang tiga. Beruntung, dua posisi itu akhirnya diturunkan menjadi bintang dua sehingga roda organisasi bisa menjadi lebih efektif dan tepat.

Penulis menganggap, kenaikan status cukup untuk posisi Irjenad yang merupakan orang nomor tiga di Mabesad. Dengan diemban pati bintang tiga maka tugas audit dan memeriksa anggaran di semua organisasi TNI AD bisa terlaksana dengan mudah.

Namun, untuk jabatan Koorsahli KSAD, Danpusterad, hingga Danpussenif idealnya cukup diduduki perwira tinggi (pati) bintang dua saja. Pasalnya, tiga posisi tersebut juga terkesan kurang strategis. Dengan semakin sedikit letjen di lingkungan Mabesad maka posisi tersebut menjadi semakin ketat persaingannya dan menjadi bergengsi.

Tidak seperti sekarang, yang terkesan posisi bintang tiga lebih mudah didapat. Bahkan, ada jabatan bintang tiga yang terkesan merupakan hadiah, karena kedekatan pertemanan atau satu leting dan angkatan. Sayangnya, meskipun mendapatkan promosi bintang tiga, tetapi jabatan yang diemban tidak memiliki kewenangan besar.

Uniknya, semua jabatan strategis di TNI AD malah diisi mayjen. Misalnya, panglima kodam (pangdam), panglima divisi infanteri (pangdivif) Kostrad, komandan jenderal (danjen) Kopassus, maupun asisten KSAD. Namun, kalau pun mereka mendapat promosi bintang tiga di luar menjadi Wakil KSAD, Irjenad, apalagi Pangkostrad maka sebenarnya pati yang bersangkutan mendapatkan promosi pangkat, namun kewenangannya sangat terbatas.

Dari sinilah, seharusnya evaluasi organisasi di TNI AD bisa terus dilakukan. KSAD maupun Panglima TNI tidak harus mengikuti instansi sebelah yang memiliki posisi bintang tiga cukup banyak. Lebih baik pembenahan organisasi di Mabesad harus dilakukan demi menciptakan pati berkualitas terbaik yang bisa menduduki jabatan bintang tiga.

Dengan begitu, mereka yang menduduki jabatan bintang tiga didapat dari hasil kerja keras, seleksi ketat, dan prestasi, bukan karena pemberian rekan seangkatan atau bonus menjelang pensiun sehingga diberi promosi. Pasalnya, jangan sampai ada kesan, malah enak menduduki pangdam untuk bintang dua daripada promosi bintang tiga dengan jabatan tidak strategis.

Penulis pun mendorong supaya Mabesad bisa menerima masukan dari luar dan rutin melakukan evaluasi organisasi. Penurunan status pos-pos tidak penting, termasuk dari mayjen ke brigjen juga harus diaplikasikan. Dengan begitu, lahir perwira profesional yang menduduki jabatan strategis berkat rekam jejak dan karier cemerlang, bukan promosi akibat banyaknya ruang jabatan yang tersedia.

*Wartawan Republika serta penulis buku TNI dan Dinamika Organisasi

Kepala BNPB Letjen Doni Monardo.

Senin, 4 Desember 2023

Oleh Erik Purnama Putra

Medio April 2012. Komando Pasukan Khusus (Kopassus) mengundang sejumlah wartawan untuk ikut gathering. Kegiatan merupakan rangkaian hari ulang tahun (HUT) ke-60 Kopassus.

Yang hadir tentu saja awak media yang biasa meliput di TNI atau Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Para undangan diajak ke Lapangan Tembak Rama-Shintang Mako Kopassus, Cijantung, Jakarta Timur.

Panitia membagi sejumlah wartawan untuk ikut lomba menembak. Tentu untuk sekadar senang-senang saja. Setiap awak media diberi lima butir peluru. Di meja, sudah ada senjata MP5. Senjata MP5 terbilang legendaris karena digunakan personel Kopassus kala melakukan pembebasan pembajakan pesawat Woyla Garuda DC-9 di Bandara Don Mueang, Bangkok pada 21 Maret 1981.

Dengan didampingi instruktur dari Satuan Gultor 81/Kopassus, peserta diminta membidik sasaran kertas berlapis lempengan besi berjarak sekitar 20 meter.

Tentu saja, tidak semua peluru tepat sasaran. Termasuk penulis yang hanya bisa mengenai sasaran dua kali, dan tiga peluru lainnya meleset.

Ternyata, mereka yang menembak dengan hasil terbaik masuk putaran final. Termasuk Fefy, salah satu rekan penulis yang akhirnya meraih juara di kalangan wartawan.

Momen itu tentu saja disambi dengan menikmati camilan dan minuman yang disediakan panitia. Ketika lomba menembak antarwartawan rampung, tiba-tiba Brigjen Doni Monardo datang. Kedatangan Doni yang memiliki posturnya tegap dan ideal membuat instruktur dan panitia gathering langsung dalam posisi hormat.

Entah sudah direncanakan atau dadakan, Doni yang saat itu menjabat Wakil Komandan Jenderal (Wadanjen) Kopassus melontarkan tantangan. Abiturien Akademi Militer (Akmil) 1985 ini mengajak para finalis lomba menembak antarwartawan untuk bertanding. Dia menyiapkan sejumlah uang jika ada wartawan yang bisa mengalahkannya.

Seketika saja, dar der dor. Lima peluru yang disediakan panitia dengan mudah dimuntahkan Doni. Dengan santai, ia membidik sasaran secara presisi. Semua peluru yang ditembakkan tepat mengenai titik hitam di tengah sasaran.

Para wartawan yang melihat pemandangan itu, langsung sorak sorai. Mungkin di kalangan Korps Baret Merah, sudah menjadi kewajaran jika semua prajurit, termasuk perwira diwajibkan lihai dalam menembak.

Namun, penampilan Doni kala itu mengundang decak kagum. Fefy yang terbaik di kalangan wartawan, hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kepiawaian Doni dalam memegang senjata.

Meski begitu, panitia tetap memberi apresiasi dan piala kepada pemenang di kalangan wartawan. Setelah itu, Doni pun berbincang kepada wartawan. Dia memberikan penjelasan tentang senjata MP5 yang biasa digunakan Kopassus untuk berlatih maupun operasi.

Menurut dia, kepiawaian prajurit Kopassus dalam menembak itu sebenarnya bukan ditentukan senjatanya. Namun, orangnya. Setiap prajurit yang sering berlatih, pasti bisa dengan cepat adaptasi membidik sasaran. Sehingga senjata bukan menjadi faktor utama dalam menentukan kehebatan petembak.

“Bukan masalah senjatanya, tapi siapa yang memakainya. Ini yang dinamakan the man behind the gun,” kata Doni kepada awak media. Penulis termasuk yang paling ingat dengan percakapan itu.

Hal itu lantaran konsep man behind the gun selama ini memang sangat populer. Menurut Doni, prajurit prosefional dan hali itu bisa terbentuk dengan sering berlatih. Sehingga jika diberi senjata tipe apapun tidak menjadi masalah.

Saat menjabat Wadanjen Kopassus pula, Doni ikut terlibat dalam Ekspedisi Khatulistiwa di Kalimantan pada 2012. Dia ikut berjalan kaki bersama berbagai pihak, termasuk pecinta alam, menyusuri hutan hingga perbatasan Malaysia.

Tidak lama setelah itu, Doni mendapatkan promosi menjadi Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Danpaspampres). Dia kembali menjadi pengawal utama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2012-2014. Sebelum itu, Doni pernah menjadi Komandan Grup A Paspampres yang bertugas mengawal SBY pada 2008-2010.

Setelah SBY meletakkan jabatannya pada 20 Oktober 2014, beberapa hari kemudian, Doni promosi menjabat Danjen Kopassus. Di sinilah kepedulan Doni dengan memerintahkan anak buahnya bersama warga sekitar untuk membersihkan Sungai Ciliwung, yang menjadi batas barat Mako Kopassus.

Kepedulian Doni kala itu mendapat apresiasi dari Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ketika dipindah menjadi Pangdam XVI/Pattimura pada 2015-2017, Doni membuat terobosan dengan meluncurkan program emas biru dan emas hijau. Program itu dibuat demi peningkatan kesejahteraan nelayan dan warga Maluku.

Ketika Doni dimutasi menjadi Pangdam III/Siliwangi, Doni lagi-lagi membuat terobosan dengan menciptakan program Citarum Harum. Menggandeng Gubernur M Ridwan Kamil, ia memerintahkan prajurit TNI untuk membersihkan Sungai Citarum yang sempat disebut sebagai sungai terkotor di dunia.

Begitulah beberapa pencapaian Doni selama berkarier di militer. Selamat jalan Pak Doni. Jasamu pasti terus dikenang…