Jumat, 31 Mei 2013  Banner OGB

Oleh Erik Purnama Putra

Dewasa ini, penggunaan obat generik mulai mendapat tempat di kalangan masyarakat. Selain karena tidak ada perbedaan khasiat dibanding dengan obat bermerek, harga obat generik juga lebih terjangkau. Ini lantaran ada harga obat bermerek yang mencapai 10 kali lipat obat generik.

Belum lagi, keterbatasan finansial bisa jadi memaksa seseorang untuk memilih membeli obat generik karena tidak ada pilihan lain. Alhasil, beberapa kelompok ini lebih memilih menggunakan uangnya untuk menebus obat generik di apotek.

Mengacu beberapa referensi, obat generik tidak ada bedanya dengan obat bermerek yang beredar di pasaran. Hanya saja, obat generik merupakan obat yang telah habis masa patennya. Sehingga, semua perusahaan farmasi dapat memproduksinya tanpa perlu membayar royalti kepada pencipta obat.

Kalau diklasifikasikan lagi, obat generik terbagi menjadi dua jenis, yaitu obat generik bermerek dagang dan obat generik berlogo (OGB). Untuk OGB, pemasarannya dengan mencantumkan kandungan zat aktif di setiap butir yang beredar. Untuk jenis ini, pemerintah sangat berkepentingan untuk memproduksinya dalam jumlah cukup sebagai antisipasi kebutuhan rumah sakit milik pemerintah.

Apalagi, pasien miskin biasanya memilih untuk berobat di rumah sakit pemerintah dengan alasan biaya rawat dan obatnya lebih terjangkau. Sehingga, ketersediaan OGB yang mencukupi merupakan sebuah kewajiban pemerintah untuk memenuhinya.

Sayangnya, perkembangan obat generik di pasaran masih kurang menggembirakan. Data Kementerian Kesehatan pada 2012 menjadi buktinya. Pangsa pasar obat generik cenderung stagnan di kisaran 10 hingga 11 persen. Di negara maju, volume penjualan obat generik bisa mencapai 70 hingga 80 persen.

Hal itu tentu patut disayangkan. Mengingat, obat generik berlogo (OGB) sudah menjadi program resmi pemerintah Indonesia mulai 1989. Tujuannya adalah  memberikan alternatif obat bagi masyarakat dengan kualitas terjamin dan harganya ramah di kantong. Seiring berjalannya waktu, gaung kampanye penggunaan OGB semakin meredup.

Bisa jadi, mitos yang berkembang di masyarakat bahwa obat generik adalah obat kelas dua dan diperuntukkan untuk kalangan tidak mampu masih melekat kuat di benak banyak orang. Label tak berkualitas itulah yang menjadi kendala mengapa OGB belum bisa diterima masyarakat secara luas.

Kampanyekan obat generik

Faktor sosialisasi juga menjadi kendala mengapa OGB kurang bisa bersaing di pasaran dengan obat bermerk. Karena harus dipahami, masyarakat dalam membeli obat biasanya enggan mencoba-coba alias memilih resep yang sudah dipercaya. Mereka rela mengeluarkan uang lebih untuk menebus obat sesuai dengan yang dipesannya.  Kalau obat itu jarang diketahui, pantas saja masyarakat meragukan khasiatnya.

Meski secara kualitas memenuhi standar ketat kesehatan, namun kita harus memahami psikologis masyarakat. Tanpa bekal pemahaman dan pengetahuan cukup, cukup sulit menggerakkan mereka untuk memilih OGB sebagai pilihan. Di sinilah titik persoalan mengapa obat generik belum bisa memasyarakat.

Tiadanya sosialisasi karena pemerintah tidak memiliki biaya promosi membuat penetrasi pasar OGB menjadi tersendat. Meski di setiap apotek selalu tersedia, karena minimnya sosialisasi oleh pemerintah berdampak pada belum terbentuknya kepercayaan masyarakat terhadap obat generik. Sehingga, potensi pasar OGB yang seharusnya besar malah tidak menggembirakan.

Untuk itu, diperlukan lagi kebijakan bersifat terobosan untuk mendorong agar masyarakat percaya menggunakan OGB sebagai resep manjur dalam mengatasi atau pencegahan penyakit. Keberpihakan pemerintah dalam mengkampanyekan gerakan menggunakan OGB sebagai sarana pengobatan efektif juga wajib digelorakan.

Karena kalau kondisinya seperti sekarang, belum banyak dikenal masyarakat, tentu jangan berharap persentase penjualan obat generik dapat meningkat. Meski ketersediaan di pasaran selalu terjaga, namun tanpa edukasi yang cukup sangat sulit mengharapkan masyarakat bisa segera beralih dengan cepat.

Sudah banyak ditemukan, pasien berani meminta kepada dokter untuk dibuatkan resep obat generik, kalau pun itu memang ada. Sayangnya, jumlah golongan seperti ini sangat sedikit. Sehingga, mendorong penggunaan OGB daripada obat bermerek yang terlanjur dipercaya khasiatnya menjadi tantangan yang harus dijawab pemerintah.

Sembari menunggu dilaksanakannya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) di bidang kesehatan per 1 Januari 2014, yang diprediksi meningkatkan pangsa pasar obat generik, tentu tidak ada salahnya kita turut mempromosikan OGB dengan cara masing-masing.

Kampanye kalau sakit lebih baik menggunakan OGB daripada obat branded jangan putus untuk disuarakan. Karena, kalau khasiatnya sama, tentu siapa pun bakal lebih memilih resep obat yang harganya jauh lebih murah. Mari gunakan OGB!