Salak condet yang baru dipetik.

Salak condet yang baru dipetik.

Jumat, 23 Januari 2015

Oleh A Syalaby Ichsan/Erik PP

Di tengah padatnya perumahan penduduk Jakarta, rimbunnya kebun salak masih bisa dinikmati. Di sisi Jalan Kayu Manis, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur, lebih 5.000 pohon salak anggun berdiri. Dedurian penghias batang-batang pohon keluarga palem-paleman itu terlihat berjajar. Menjadi pelindung ‘buah ular’ yang berkumpul di dalam tandan.

Kebun salak seluas empat hektare itu milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kebun itu menjadi salah satu peninggalan kejayaan salak condet (salacca edulis cognita), nama varietas buah tersebut pada masa lalu. Kini, salak dengan gabungan rasa sepat, manis dan asam itu tak bisa lagi ditemukan di pasaran. Maskot DKI Jakarta tersebut dikalahkan invasi salak pondoh yang dijual bebas pedagang kaki lima maupun di toko swalayan.

Sulit menemukan kebun ‘pelat merah’ itu. Tidak ada satu pun penunjuk jalan untuk sampai di sana. Patokan untuk menemukan kebun adalah jembatan gantung Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Sebelum naik ke jembatan, ada jalan sempit ke arah kiri.

Jalan itu hanya bisa dilalui pejalan kaki dan sepeda motor. Letaknya yang diujung permukiman warga mempersulit alamat kebun. Lika-liku jalan membelah perumahan yang kebanyakan semipermanen.

Sampai di ujung jalan, ada rumah berjejer di sana. Letaknya tepat di RT 07/05. Salah satu rumah tidak dicat beratap asbes. Rumah itu hanya disemen dan masih bertembok kasar. Asnawi, pemilik rumah ini. Bapak tiga anak ini didaulat menjadi penjaga kebun salak.

Kepada Republika, laki-laki berusia 46 tahun tersebut berkisah, kebun itu dibeli Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta pada 2007. Sebelumnya, kebun salak tersebut milik puluhan warga asli Condet yang masih ada hubungan sanak famili.

Hanya, niat Dinas Pertanian DKI Jakarta yang ingin membudidayakan salak membuat hati mereka luluh. Kebun itu pun dijual seharga nilai jual objek pajak (NJOP) ketika itu. “Dulu nilainya masih murah,” ujar Asnawi ketika ditemui, belum lama ini.

Setelah pembebasan, pemerintah pun membangun tembok setinggi dua meter sebagai pagar. Hanya, batang-batang besi pagar sudah tidak rapat lagi. Banyak warga leluasa untuk hilir mudik melintasi tembok. Tak cuma itu, sebuah kandang kambing semi permanen pun tampak berdiri di balik pagar. Padahal, lahan tersebut sudah masuk kebun pemerintah.

Meski menjadi penjaga kebun pemerintah, Asnawi tak diberikan bayaran. “Kita disuruh kelola, tapi enggak ada honornya,” ujar pria yang akrab disapa Bang Awi itu. Tak hanya itu, perhatian pemerintah daerah (pemda) terhadap kebun salak tersebut tergolong rendah.

Menurut dia, petugas Dinas Pertanian DKI Jakarta hanya menyambangi kebun itu sebulan sekali. Buat Asnawi, kunjungan itu tergolong percuma karena tak diiringi dengan upaya konkret untuk mengembangkan kebun.

Dia pun lebih memilih aktivitas lain untuk menghidupi keluarganya. Asnawi memproduksi emping condet, menjual benih pohon, dan menjadi kuli serabutan. “Alhamdulillah, ada aja rejeki mah.”

Asnawi mengungkapkan, mudahnya akses warga ke kebun membuat salak condet sering dicuri. Status sebagai kebun pemerintah menjadi justifikasi. “Orang sekarang sudah pada tahu itu kebun pemerintah. Terus main ngambil aja,” tuturnya. Meski masih banyak salak, Asnawi sulit untuk memasarkannya. Harganya yang sulit untuk bersaing menjadi alasan.

Dia mengenang masa kejayaan salak condet pada 70-an hingga 80-an silam. Tiap dua hari, Asnawi muda masih memikul dua keranjang berisi ratusan salak untuk dijual di Pasar Minggu. Hasilnya bisa menghidupi satu keluarga.

Sekarang, nama besar salak condet sekarang tinggal cerita. Dia pun mencoba memperbaiki nasib. Saat ini, dia memiliki benih unggul salak condet untuk diadopsi ribuan pohon salak di kebun tersebut. “Ini salak juara,” katanya.

Kebun salak condet tak hanya ada di Jalan Kayu Manis. Di tepi Jalan Raya Condet, Balekambang, ada satu kebun salak yang luasnya mencapai 5.000 meter. Di belakang deretan toko, kebun salak itu terhampar.

Hadain Wahab (52) adalah empunya kebun yang diwariskan ayahnya Haji Sahab Maliki. Pria yang akrab disapa Daeng itu menghabiskan waktu luangnya untuk merawat kebun. Daeng mulai tertarik untuk merawat salak pada 2006.

Ketika itu, sarjana lulusan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) tersebut heran karena banyak salaknya tidak berbuah. “Dulu dua setengah tahun enggak berbuah,” ungkapnya.

Daeng pun belajar otodidak cara membudidayakan salak. Dia mencoba perlakuan berbeda untuk merawat salak-salaknya. Awalnya, Daeng membuka ruang lebih luas untuk pohon-pohon salak.

Dia memberi jarak dua meter untuk merenggangkan salak. Daeng juga memberi ruang masuknya sinar matahari ke kebunnya. Tak hanya itu, salak-salak itu pun diberi pupuk organik.

“Dua tahun setelah itu baru berbuah,” ujarnya. Meski sudah menghasilkan, Daeng tidak menjual salak-salak tersebut dengan ritel. Dia hanya melayani pembelian dengan pesanan. “Kalau ada yang pesan baru kita petikin,” ungkapnya.

Daeng juga tidak menggantungkan hidupnya dari berjualan salak. Harga salak yang murah dengan produksi terbatas, tuturnya, membuat pasar salak condet tidak prospektif. Daeng lebih memilih berjualan bibit pohon untuk menambal kebutuhan hidupnya. Selain itu, dia memodifikasi dan menjual sepeda kepada masyarakat. Salak (1)

Terpinggirkan
Terancamnya kelangsungan salak condet juga mendapat perhatian Presiden Jokowi. Dia menyatakan, nasib salak condet mirip dengan yang dialami Sungai Ciliwung.

Keberadaannya sama-sama mengenaskan. Padahal, kata Jokowi, dulu salak condet mendapat tempat istimewa lantaran menjadi salah satu hidangan di Istana Negara.

Proklamator Sukarno termasuk sebagai penggemar salak condet. Informasi itu ia dapatkan dari Megawati Soekarnoputri, yang juga menggemari salak condet. Sayangnya, buah lokal tersebut kini seolah terpinggirkan lantaran tidak mendapat perhatian pemda.

“Beberapa waktu lalu saya pernah bersama Ibu Megawati ke Sungai Ciliwung, saya melihat sungai besar yang membelah kota Jakarta itu, Bu Mega cerita Sungai Ciliwung amat bersih saat beliau masih remaja,” kata Jokowi.

“Bahkan Bung Karno kerap membawa oleh-oleh salak condet yang tersohor itu ke Istana (Negara), di mana Bu Mega dengan riang menerima oleh-oleh ayahandanya, buah salak khas Condet banyak tumbuh di bantaran sungai Ciliwung,” imbuh Jokowi.

Keberadaan salak condet yang tumbuh di pinggir Sungai Ciliwung sebenarnya termasuk kawasan cagar budaya. Hal itu dapat dilihat dari Keputusan Nomor D.1-70903/a/30/1975 yang dikeluarkan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin untuk melindungi keberadaan buah khas kesukaan warga Betawi tempo dulu tersebut.

Yang terjadi, pengelolaan bantaran sungai yang karut marut membuat kejayaan salak condet tinggal kenangan lantaran terdesak permukiman. Kini, dari sekitar 800 hektare wilayah cagar budaya, hanya tersisa sedikit saja lahan yang menjadi kebun salak condet.

Anggota Komunitas Ciliwung Condet Riyan Hidayat menyatakan, dilihat dari sejarahnya, salak condet menjadi ciri khas Jakarta. Tidak mengherankan, salak condet menjadi lambang resmi Pemprov DKI. Bahkan, dibuatkan pula monumen elang bondol mencengkeram salak condet di Cempaka Putih, Jakarta Timur. Kalau mau cermat, logo TransJakarta juga mengambil simbol itu.

Buah itu sendiri memiliki nama belakang condet karena banyak tumbuh dan tersebar di kawasan Condet. Tepatnya di sekitar Kelurahan Balekambang, kelurahan Batu Ampar dan Kelurahan Gedong, Jakarta Timur.

“Kondisi salak condet sangat memprihatinkan dan terancam mengalami kepunahan. Tidak jelas berapa sisa dari salak condet tersebut. Data empiris memperlihatkan bahwa di tiga kelurahan tersebut sudah bukan lagi menjadi lahan yang memadai bagi tumbuhan termasuk bagi salak condet,” kata Riyan.

Dia mengkritik, tata kelola lahan yang tidak seimbang antara lahan tutupan dengan lahan produktif bagi tanaman menjadi akar permasalahannya. Sebagian besar lahan di wilayah Balekambang, Batu Ampar, dan Gedong telah menjadi kawasan padat penduduk.

“Menurut pengamatan saya salak condet hanya tersisa di sedikit wilayah di Kelurahan Balekambang,” ujarnya.

Salah satunya terdapat di Jalan Munggang milik salah satu warga di tepian sungai Ciliwung yang punya sekitar 100 tanaman. Terdapat pula kebun Pemprov DKI Jakarta, yang memiliki puluhan tanaman salak yang justru kondisinya lebih buruk daripada lahan kepunyaan warga sekitar.

“Lahan di Jalan Munggang terlihat lebih terawat dan memang menjadi kebun pertanian walaupun hanya memiliki lingkup yang sangat kecil. Sementara itu, lahan di Jalan Kayu Manis milik Pemprov DKI terlihat tidak terurus,” katanya.

Dia pun menyerahkan kondisi itu kepada Pemprov DKI Jakarta untuk andil dalam melestarikan dan kalau bisa mengembalikan kejayaan tanaman lokal itu, Bukan semata-mata untuk tujuan menaikkan pamor salak sebagai buahyang perlu dibudidayakan, terlebih juga merupakan salah satu maskot yang menjadi ikon Jakarta.

Baginya, salak condet memiliki rasa unik dan berbeda daripada salak dari daerah lain. Hal itu menjadi kelebihan yang tidak dimiliki varietas salak lain. Karena itu, dengan dibudidayakan semoga tujuannya agar salak condet yang nikmat dapat terus dinikmati generasi mendatang dapat diwujudkan.

“Mau bilang apa kita kalau generasi setelah ini bertanya, ‘Salak Condet itu buahnya seperti apa? Rasanya bagaimana?’ Ini jangan sampai terjadi,” harapnya.

Mengembalikan kejayaan
Kepala Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta, Darjamuni membantah pihaknya tidak memedulikan terhadap kelestarian salak condet. Menurut dia, Dinas Pertanian sangat concern untuk membudidayakan salak condet sebagai produk unggulan Jakarta. Hal itu sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian No.361/Kpts/LB.240/6/2004 tentang produk unggulan daerah.

Dia mengungkapkan, dengan menggandeng masyarakat yang tinggal di bantaran Ciliwung, belum lama ini digelar kompetisi salak condet untuk menentukan rasa terbaik. Dilibatkannya masyarakat dengan tujuan agar mereka bisa ikut fokus mengembangkan salak condet di lahan yang dimilikinya.

Darjamuni pun berjanji untuk mengangkat buah lokal agar bisa berjaya di masyarakat. “Kita ini baru saja melakukan kontes, hasilnya setelah dilakukan penelitian di laboratorium ditemukan 42 jenis salak condet. Ini yang nanti kita budi dayakan,” ujar Darjamuni.

Dia mengaku, potensi yang dimiliki salak condet memang luar biasa. Dibandingkan salak pondoh, kata dia, salak condet memiliki keunggulan rasa khas. Karena itu, pihaknya akan membudidayakan satu jenis salak condet dari 42 varietas yang memiliki keunggulan rasa.

“Di mana-mana, rasa salak pondok itu sama. Nah, ada satu dari 42 jenis salak condet ini yang punya kualitas rasa terbaik. Nanti ini yang kami kembangkan.”

Darjamuni melanjutkan, tidak benar kalau salak condet menuju kepunahan. Dia menyebut, Pemprov DKI memiliki lahan di bantaran Sungai Ciliwung. Karena masih bersengketa dengan sebagian keluarga pemilik lama, hingga kini lahan itu masih belum dikelola secara maksimal.

Ketika nanti urusan sengketa lahan beres, ia memprediksi budi daya salak condet akan berjalan baik. Masalah luas lahan pun tidak akan menjadi kendala. Untuk menyiasatinya, setiap lahan terbuka hijau, baik taman dan hutan kota akan ditanami salak condet.

Hal itu agar semakin meneguhkan ciri khas Jakarta sebagai penghasil salak condet. “Kita pertahankan juga di lahan miliki Pemprov DKI, nanti semuanya ditanami salak condet. Jadi, siapa bilang salak condet akan punah? Tidak benar itu.”