Menhan Prabowo Subianto bersama Menteri Angkatan Bersenjata Prancis Florence Parly.

Kamis, 14 Juli 2022

Oleh Erik Purnama Putra*

10 Februari 2022. Kamis itu dapat dikatakan sebagai hari bersejarah bagi Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan industri pertahanan Tanah Air. Indonesia dan Prancis akhirnya sepakat untuk meneken sejumlah perjanjian pembelian alat utama sistem senjata (alutsista) dan kerja sama dalam bidang pertahanan. Menteri Angkatan Bersenjata Prancis Florence Parly sampai terbang dari Paris ke Jakarta demi bertemu Menteri Pertahanan (Menhan) RI Prabowo Subianto Djojohadikusumo untuk ikut menyaksikan nota penandatanganan pembelian enam jet Dassault Rafale.

Baik Menhan Prabowo maupun Menteri Parly menjadi saksi kesepakatan pembelian jet tempur yang keseluruhan kontraknya 42 unit, yang diteken di Aula Bhineka Tunggal Ika Kemhan, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat pada siang itu. Pembelian Rafale ditandatangani CEO Dassault Aviation Eric Trappier dan Kepala Badan Sarana Pertahanan Kemhan Marsda Yusuf Jauhari.

Sistem kontrak yang dibuat adalah jika pembeli sudah membayar enam jet generasi 4,5 tersebut maka otomatis sisanya sebanyak 36 jet Rafale ikut diproses. Kantor berita Reuters melaporkan, total nilai kontrak tersebut mencapai 8,1 dolar AS atau sekitar Rp 116 triliun.

Pembelian jet Rafale paling menyita perhatian publik dibandingkan kontrak pembelian dan kerja sama industri pertahanan lainnya. Hal itu sebenarnya tidak mengejutkan. Sudah bertahun-tahun kabar Kemhan ingin membeli jet tempur, namun baru kali ini terealisasi.

Selama ini, Tentara Nasional Indonesia (TNI AU) sudah hampir tujuh tahun menunggu armada pengganti F-5 Tiger. Usia tua pesawat buatan Inggris itu membuatnya tidak lagi layak diterbangkan hingga harus di-grounded sejak 2015.

TNI AU semula digadang-gadang akan mendapatkan Sukhoi Su-35. Pemerintah RI awalnya siap membeli jet tempur buatan Rusia itu dengan sistem pembayaran separuh dibarter komoditas dan sisanya tunai. Dalam perjalanannya, pembelian Sukhoi tidak berlangsung mulus. Padahal, Menhan periode 2014-2019 Ryamizard Ryacudu sempat optimistis bisa merealisasikan pembelian tersebut. Sayangnya, hingga masa jabatan berakhir, Ryamizard tak kunjung bisa menghadirkan Sukhoi untuk memperkuat skuadron tempur TNI AU.

Kemudian, muncul Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA). Pemerintah Amerika Serikat (AS) meluncurkan Undang-Undang Penentang Lawan Amerika Melalui Sanksi yang membuat rencana pembelian Sukhoi maju mundur. Jika Indonesia memaksakan membeli alutsista dari negeri Beruang Merah, bayang-bayang sanksi mengantui TNI tiga matra. Apalagi, tidak sedikit alutsista utama, khususnya F-16 yang dioperasikan TNI AU terancam diembargo hingga kesulitan suku cadang jika RI nekat membeli Sukhoi dari Rusia.

Untuk memecah kebuntuan, Prabowo sejak menjadi Menhan pada 23 Oktober 2019, terus bergerilya secara aktif melakukan diplomasi militer. Semua negara adidaya dikunjungi. Prabowo menjalin banyak relasi untuk memperkuat postur pertahanan negeri ini. Beberapa pesawat sempat dijajaki. Termasuk rencana membeli Eurofighter Typhoon dari Austria.

Namun, dengan berbagai pertimbangan, akhirnya pilihan jatuh kepada Prancis. Selain dikenal sebagai negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), teknologi pesawat Prancis juga tidak kalah dibandingkan dengan AS dan Rusia. Pertimbangan strategis lainnya, Indonesia terbebas dari ancaman sanksi dari AS jika membeli dari Prancis. Akhirnya keputusan sudah dibuat. Kini, pembelian itu tinggal menunggu proses pembayaran agar pabrikan Dassault bisa merakit pesawat untuk segera dikirim ke Indonesia.

“Indonesia yang menjatuhkan pilhan untuk menggunakan pesawat Rafale menunjukkan kepercayaan Indonesia kepada Prancis dan menjadi bukti bahwa kemitraan strategis kedua negara sangat kuat dan dinamis,” ucap Parly.

Sehingga kapan pastinya Rafale akan memperkuat TNI AU sekarang tergantung pemerintah RI. Jika pembayaran melalui surat utang bisa diproses cepat maka perakitan Rafale juga bisa lekas dimulai. Dengan begitu, kekosongan kekuatan patroli udara yang ditinggalkan F-5 Tiger selama tujuh tahun terakhir, bisa ditutupi hadirnya Rafale.

Dengan kemampuan multirole, sangat jelas pesawat ini memiliki deterrence effect dalam mengawal ruang udara NKRI, termasuk di wilayah terluar Natuna yang sekarang bergejolak akibat konflik di Laut China Selatan. Dengan kemampuan lebih gahar, kehadiran Rafale bisa mendukung TNI AU menjadi kekuatan regional utama yang diperhitungkan.
Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Fadjar Prasetyo pun bergerak cepat dengan menyiapkan sumber daya manusia (SDM) jelang kedatangan Rafale. Persiapan mengirim calon pilot tempur dilakukan lantaran TNI AU sudah pasti membeli pesawat produksi Prancis tersebut. Dia juga menyebut, pelatihan pilot nantinya berlangsung di Indonesia maupun Prancis. “Kriteria kita sudah siapkan dan yang eligible untuk bisa berangkat,” kata Fadjar di sela Rapat Pimpinan (Rapim) TNI AU 2022 di Mabesau, Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat (4/3/2022).

Di luar penandatangan kontrak pembelian Rafale, Prabowo dan Parly juga menyaksikan nota kesepahaman (MoU) di bidang riset dan pengembangan kapal selam antara PT PAL dan Naval Grup, kerja sama program offset dan transfer of technology (ToT) antara Dassault dan PT Dirgantara Indonesia, kerja sama di bidang telekomunikasi antara PT LEN dan Thales Group, serta pembuatan munisi kaliber besar antara PT Pindad dan Nexter Munition.

CEO PT PAL Kaharuddin Djenod dan CEO Naval Group Pierre Eric Pommellet menjadi perwakilan kedua perusahaan yang meneken dokumen pengembangan riset bersama kedua negara. Baik PT PAL dan Naval Group akan berbagi teknologi pengembangan kapal selam Scropene yang sudah menerapkan air-independent propulsion (AIP). Dengan teknologi tersebut maka kapal selam yang dioperasikan tidak perlu naik ke permukaan untuk mendapatkan oksigen. Adapun lima kapal selam yang sudah memperkuat TNI AL sekarang harus muncul ke permukaan agar kru bisa mendapatkan pasokan oksigen.

“Penandatanganan MoU kerja sama bidang research and development tentang kapal selam antara PAL dan Naval Group, yang akan mengarah pada pembelian dua unit kapal selam Scorpene dengan teknologi AIP dan lengkap dengan persenjataannya,” kata Prabowo.

Hanya saja, hingga kini, nilai kontrak pembelian dua kapal asal Prancis yang dilengkapi persenjataan tersebut belum diketahui nominalnya. Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Yudo Margono menyebut, pihaknya sudah sepakat dengan spesifikasi Scorpene yang ditawarkan Naval Group. Selain memenuhi syarat, berat kapal selam 1.300 gross tonnage (GT) juga sesuai dengan kondisi geografis laut Indonesia.
“Kita cek di dalam tentang kapal selam Scorpene, memang memenuhi syarat apabila itu diadakan, kita setuju,” kata Yudo di sela Rapat Pimpinan (Rapim) TNI AL 2022 di Mabesal, Cilangkap, Jakarta Timur pada Rabu (2/3/2022).

Produksi bersama
Pembangunan kekuatan pertahanan RI pada era Menhan Prabowo benar-benar mendapatkan perhatian serius. Tidak hanya melalui pendekatan Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata) semata, melainkan juga modernisasi alutsista sangat digencarkan. Lihat saja, kerja sama antara Indonesia dan Prancis meliputi penguatan postur pertahanan tiga matra sekaligus.

Untuk TNI AD, Prabowo menginginkan agar teknologi munisi kaliber sedang dan besar yang dikembangkan PT Pindad bisa mendapatkan asistensi dari Nexter Group. Selama ini, banyak produk PT Pindad yang digunakan oleh TNI AD untuk mendukung operasi prajurit maupun dalam misi kemanusiaan.
PT Pindad menjelaskan, ruang lingkup kerja sama produsen senjata asal Prancis tersebut mencakup pembuatan produk munisi kaliber sedang (MKS) dan munisi kaliber besar (MKB).

Di antaranya, munisi kaliber 120 mm main battle tank (MBT), munisi kaliber 105 mm medium tank Harimau, munisi kaliber 20 mm Vector GI-2, munisi kaliber 30 mm Rafale Gun, dan munisi kaliber 30 mm 6 dan 7 barrel. Mengacu hal itu, tentu saja, MBT Leopard maupun tank Harimau yang sedang dibangun PT Pindad nantinya akan menggunakan produksi senjata sendiri ketika ToT dari Nexter bisa berjalan dengan lancar dan sukses.

Baik PT Pindad dan Nexter sebenarnya sudah menjalin hubungan bersama. Sebelumnya, kedua perusahaan sudah pernah bersama-sama membuat konten lokal kendaraan taktis 4×4 Komodo Nexter berbagai tipe dan Caesar 155 mm Howitzer pada 2017-2020. Adapun tipe yang diproduksi, antara lain Battalion Command Vehicle (BnCV), Battery Command vehicle (BCV), Meteo Vehicle (MeV), Forward Observer Vehicle (FoV), Relay Vehicle (ReV) dan Logistic Vehicle (LoG).

Selain soal alutsista, sebenarnya kerja sama di bidang lain antara RI dan Prancis juga dibahas. Di antaranya, pertukaran perwira militer kedua negara, pelatihan pendidikan bagi militer kedua negara untuk mengenyam sekolah staf dan komando (sesko) demi mengeratkan hubungan diplomasi, hingga pengiriman Marinir TNI AL ke Kaledonia Baru.

Di sini, Prabowo jelas sekali ingin agar semua hal yang mencakup penguatan pertahanan alutsista dan peningkapan kapasitas pendidikan TNI secara bersamaan ikut ditingkatkan. Tujuannya agar Indonesia bisa mendapatkan manfaat semaksimal mungkin ketika belanja alutsista secara masif, dengan meminta kompensasi tidak sedikit bagi kepentingan pengembangan kapasitas organisasi TNI ke depannya.
Jet F-15

Sehari berselang usai Prabowo menyaksikan penandatangan kontrak pembelian Rafale, tepatnya pada Jumat (11/2/2022) pagi WIB, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan kabar pemerintah AS mengizinkan penjualan 36 jet tempur F-15ID ke Indonesia. Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (Deplu AS) menyatakan, penjualan F-15 dilengkapi persenjataan lengkap, meliputi mesin, munisi, dan peralatan sistem komunikasi.

Keputusan ini jelas sangat menggemparkan lantaran Indonesia akhirnya mendapatkan akses untuk memperkuat kekuatan udaranya dengan kehadiran jet tempur taktis supersonik tersebut. Bisa dikatakan, ini adalah salah satu hasil kunjungan Prabowo ke Pentagon. Lobi dan diplomasi Prabowo kembali berhasil meluluhkan pemerintah AS hingga mengizinkan penjualan F-15 untuk memperkuat TNI AU.

Dalam rilisnya, Deplu AS menyatakan, kontrak pembelian F-15 Eagle tersebut diperkirakan mencapai 13,9 miliar dolar AS atau sekitar Rp 200 triliun. Keputusan negeri Paman Sam yang mengizinkan penjualan salah satu pesawat terbaiknya ini menjadi penanda semakin eratnya hubungan AS dengan Indonesia. “Sangat penting bagi kepentingan nasional AS untuk membantu Indonesia dalam mengembangkan dan mempertahankan kemampuan bela diri yang kuat dan efektif,” demikian pernyataan Deplu AS.

Mengapa tiba-tiba AS mengizinkan Indonesia membeli alutsista yang terbilang unggul di kelasnya? Tentu ini tidak bisa dilepaskan dari ancaman di Indo-Pasifik. Pergeseran kekuatan dengan semakin menakutkannya kekuatan militer negeri Tirai Bambu membuat stabilitas di kawasan ikut memanas.

Dalam konteks ancaman regional, AS jelas ingin menggandeng Indonesia menjadi satu kubu. Meski berstatus sebagai Negara Non Blok, Indonesia ingin dirangkul AS menjadi sekutunya dalam membendung pengaruh Republik Rakyat China (RRC). Apalagi, wilayah lautan Indonesia juga beririsan dengan batas Laut China Selatan yang menjadi sumber konflik di Asia Tenggara.

Dengan memberi akses Indonesia memiliki F-15, AS ingin memastikan posisi Indonesia berseberangan dengan RRC. Apalagi, klaim RRC terkait Laut China Selatan yang merujuk Sembilan Garis Putus-Putus sangat tidak bisa dipertanggungjawabkan. Keputusan pemerintah negeri Panda yang memperluas wilayah lautnya secara sepihak itu membuat Vietnam, Filipina, dan Malaysia murka. Apalagi, armada militer China juga sudah dikerahkan untuk menguatkan klaim lautan yang kaya sumber daya mineral (SDM) tersebut sebagai wilayah kedaulatannya.

Jika Indonesia ikut terlibat langsung di dalamnya lantaran posisi Laut Natuna Utara bisa dimasukkan ke dalam wilayah RRC maka AS memiliki sekutu kuat dalam konflik di Laut China Selatan. Di sinilah menarik menanti manuver Menhan Prabowo ketika benar nantinya TNI AU mengakuisisi jet tempur Elang buatan Boeing tersebut.

Karena AS selama ini tidak mudah menjual alutsista ke negara yang dianggap tidak bersahabat dengannya. Jika mereka berani memutuskan melepas F-15 ke Indonesia, pasti ada maunya. Karena tidak ada makan siang gratis, poin pentingnya adalah diplomasi Prabowo melobi pemerintah AS terbukti berhasil demi memperkuat kekuatan udara RI di kawasan.

Jika nantinya Rafale dan F-15 sudah tiba di Indonesia dan dioperasikan TNI AU, pasti negara tetangga semakin berpikir ulang untuk melakukan tindakan macam-macam dengan Indonesia. TNI AU pun bisa dikatakan sebagai salah satu kekuatan udara paling disegani di ASEAN.

Sampai di sini, sangat jelas pesan yang ingin dikomunikasikan Prabowo. Dengan memperkuat alutsista maka Indonesia selalu siap menghadapi kemungkin terburuk terkait konflik dengan negara lain. Hal itu sesuai dengan slogan yang kerap diucapkan Prabowo di berbagai kesempatan.

Civis pacem para bellum, jika Indonesia mendambakan kedamaian maka harus bersiap perang. Indonesia memang cinta damai. Namun, apabila ada negara lain yang berusaha mengganggu kedaulatan, apalagi sampai mencaplok wilayah RI maka siap-siap saja untuk berhadapan dengan kekuatan Sishankamrata yang didukung alutsista modern.

Dari titik inilah, Prabowo ingin menyiapkan fondasi penguatan alutsista agar negeri ini siap menghadapi segala kemungkinan terburuk ke depannya. Karena diprediksi, Laut China Selatan akan menjadi medan peperangan baru pada masa mendatang.

*Tulisan ini dimuat di Majalah Wira Kemenhan.